Keluarga Ponimin tidak bisa melarikan diri saat awan panas letusan Gunung Merapi menerjang. Saat akan bergegas meninggalkan rumah di kawasan Kaliadem bersama empat anggota keluarga, ban mobil yang mereka gunakan meledak karena panasnya debu vulkanik di jalan. Mereka kembali ke dalam rumah dan terjebak di dalam.
Informasi itulah yang didengar Pandu Bani Nugraha (20), warga Kaliadem, Kepuh Harjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Upaya evakuasi harus segera dilakukan. Dia pun meluncur ke rumah Ponimin bersama dua rekannya menggunakan sepeda motor.
"Sekitar pukul 22.00, ada telepon kalau keluarga Pak Ponimin terjebak di rumah dan belum dievakuasi. Saya dengan mengendarai sepeda motor bersama dua teman membawa tabung oksigen untuk mengevakuasi keluarga Pak Ponimin," ujarnya.
Tebalnya debu vulkanik yang menutup jalan menghentikan niat kedua rekannya. Sepeda motor yang dikendarai rekannya tidak mampu menembus pekatnya debu malam itu. Namun, Pandu tetap berkeras meluncur seorang diri. "Motorku yang bisa naik. Di jalan, debunya panas dan tebal," ungkapnya.
Tiba di rumah Ponimin, bukan berarti perjuangan penyelamatan bisa dilakukan. Situasi begitu mencekam. Puing kehancuran dan debu vulkanik di depan rumah Ponimin masih terlihat membara.
Setapak demi setapak, Pandu melintasi debu tebal yang panas untuk ke rumah Ponimin. Kehidupan masih ada. Dia mendapati Ponimin dan dua bocah serta dua relawan masih hidup di dalam rumah.
Suhu malam itu begitu panas. Keinginan Pandu hanya satu, dia bertekad semua harus bisa menyelamatkan diri di tengah semua hal ini. Kebersamaan dan semangat untuk hidup membuat mereka memberanikan diri perlahan keluar rumah.
Menurutnya, tidak mungkin menginjak tanah yang panas saat kondisi Ponimin dan anggota keluarga menderita luka bakar pada bagian kaki. Dengan tiga bantal dan satu sajadah, mereka jadikan semua itu titian untuk menginjakkan kaki di atas debu vulkanik yang panas.
Selama satu jam, mereka berjuang secara estafet bergerak selangkah demi selangkah meninggalkan rumah hingga menemukan mobil pikap milik kelurahan yang bisa mereka gunakan untuk menuju tempat pengungsian yang aman. Mereka akhirnya selamat.
Tebalnya debu vulkanik yang menutup jalan menghentikan niat kedua rekannya. Sepeda motor yang dikendarai rekannya tidak mampu menembus pekatnya debu malam itu. Namun, Pandu tetap berkeras meluncur seorang diri. "Motorku yang bisa naik. Di jalan, debunya panas dan tebal," ungkapnya.
Tiba di rumah Ponimin, bukan berarti perjuangan penyelamatan bisa dilakukan. Situasi begitu mencekam. Puing kehancuran dan debu vulkanik di depan rumah Ponimin masih terlihat membara.
Setapak demi setapak, Pandu melintasi debu tebal yang panas untuk ke rumah Ponimin. Kehidupan masih ada. Dia mendapati Ponimin dan dua bocah serta dua relawan masih hidup di dalam rumah.
Suhu malam itu begitu panas. Keinginan Pandu hanya satu, dia bertekad semua harus bisa menyelamatkan diri di tengah semua hal ini. Kebersamaan dan semangat untuk hidup membuat mereka memberanikan diri perlahan keluar rumah.
Menurutnya, tidak mungkin menginjak tanah yang panas saat kondisi Ponimin dan anggota keluarga menderita luka bakar pada bagian kaki. Dengan tiga bantal dan satu sajadah, mereka jadikan semua itu titian untuk menginjakkan kaki di atas debu vulkanik yang panas.
Selama satu jam, mereka berjuang secara estafet bergerak selangkah demi selangkah meninggalkan rumah hingga menemukan mobil pikap milik kelurahan yang bisa mereka gunakan untuk menuju tempat pengungsian yang aman. Mereka akhirnya selamat.
0 komentar:
Posting Komentar