"Saya suka gado-gado dan ayam goreng, es campur juga." Kata-kata itu dilontarkan secara fasih oleh Tatjana (15), siswi Australia yang belajar Bahasa Indonesia di Ryde Secondary College, Sydney.
Siswi kelas 8 atau sederajat dengan kelas 2 sekolah menengah pertama ini mengaku memilih belajar bahasa Indonesia karena ingin berkomunikasi dengan teman-temannya yang berasal dari Bali dan Jakarta. Namun, minat belajar bahasa Indonesia yang disampaikan Tatjana tak menggambarkan bahwa minat belajar bahasa Indonesia bertumbuh di kalangan pelajar Australia belakangan ini. Ratusan ribu pelajar di Australia memilih bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran pilihan mereka.
"Dua puluh tahun lalu, bahasa Indonesia populer," kata Gai Wholohan (47), seorang pengajar bahasa Indonesia di Ryde Secondary College. Ibu guru yang telah mengenal bahasa Indonesia sejak 1974 itu menyebut serangan teroris di Bali dan travel advisory dari pemerintah Australia bagi warganya yang ingin bepergian ke Indonesia turut berkontribusi dalam penurunan minat siswa Australia yang ingin belajar Bahasa Indonesia.
Pengakuan yang sama disampaikan secara terpisah oleh Dr Rochayah Machali, koordinator studi Indonesia di Universitas New South Wales, Sydney. "Saya kaget saat melihat salah satu siswa saya menulis keinginannya untuk berkunjung ke Bali jika berani," ujar Rochayah yang tak menyangka dampak bom Bali begitu besar sehingga menimbulkan trauma di kalangan warga Australia.
Rochayah yang pernah kuliah di IKIP Malang menjelaskan jumlah mahasiswa yang menaruh minat bahasa Indonesia di Universitas New South Wales mencapai 100 pada 1998. "Tetapi sekarang, untuk mendapatkan jumlah mahasiswa 25 sulit," jelas Rochayah.
Selain itu, kepentingan siswa untuk mendapatkan mata pelajaran dengan prospek lapangan kerja yang menjanjikan seperti bisnis telah mengarahkan orientasi mereka dalam memilih mata pelajaran. Hal ini pula yang membuat siswa di Australia bersikap kritis mempertanyakan apa yang bisa mereka dapatkan dengan mengambil bahasa sebagai mata pelajaran.
Menteri Luar Negeri Stephen Smith mengakui jumlah pelajar Australia yang belajar bahasa Indonesia mengalami penurunan. "Namun, penurunan itu tak hanya terjadi pada bahasa Indonesia tetapi juga pada pilihan bahasa Asia lainnya,"jelas Stephen Smith dalam suatu keterangan saat membuka Konferensi Australia - Indonesia di Sydney, Kamis (21/2).
Selama berlangsung konferensi itu, Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengakui tahun lalu pernah menemui kalangan akademisi maupun guru dari Australia yang berharap dapat mengikuti program pertukaran pengajar di Indonesia. Namun, Hassan Wirajuda menjelaskan mereka mengalami kesulitan untuk mengikuti program itu karena masih diberlakukan travel advisory oleh pemerintah Australia.
Karena permasalahan itu, Hassan Wirajuda memohon agar travel adversory segera dicabut. Sementara Stephen Smith menerangkan travel advisory akan terus ditinjau oleh pemerintah Australia.
Stephen Smith berdalih bahwa travel advisory tak hanya dilakukan oleh Australia untuk melindungi warganya yang akan bepergian ke luar negeri tetapi juga oleh AS dan Kanada. Stephen Smith menambahkan dalihnya itu dengan menyebutkan jumlah wisatawan Australia yang bepergian ke Bali mengalami kenaikan tajam tahun lalu.
Walaupun fakta menyebutkan Indonesia berhasil menyedot jumlah wisatawan Australia ke Bali, namun Indonesia belum bisa dikatakan sukses untuk menarik pelajar atau kalangan akademisi Australia untuk lebih banyak lagi studi di Indonesia atau setidaknya termotivasi untuk belajar bahasa Indonesia. Persepsi negatif terhadap Indonesia tidak sepenuhnya bisa digunakan sebagai dalih dari kegagalan itu.
Persepsi negatif memang masih membekas walaupun konferensi Australia-Indonesia yang berfokus pada hubungan antarwarga negara dengan berbagai latar belakang telah ditutup akhir pekan lalu. Namun, persepsi negatif hanya akan menjadi luka yang menciderai hubungan bilateral apabila bangsa Indonesia tidak belajar dari apa yang seharusnya dibenahi untuk memperbaiki diri.
"Dua puluh tahun lalu, bahasa Indonesia populer," kata Gai Wholohan (47), seorang pengajar bahasa Indonesia di Ryde Secondary College. Ibu guru yang telah mengenal bahasa Indonesia sejak 1974 itu menyebut serangan teroris di Bali dan travel advisory dari pemerintah Australia bagi warganya yang ingin bepergian ke Indonesia turut berkontribusi dalam penurunan minat siswa Australia yang ingin belajar Bahasa Indonesia.
Pengakuan yang sama disampaikan secara terpisah oleh Dr Rochayah Machali, koordinator studi Indonesia di Universitas New South Wales, Sydney. "Saya kaget saat melihat salah satu siswa saya menulis keinginannya untuk berkunjung ke Bali jika berani," ujar Rochayah yang tak menyangka dampak bom Bali begitu besar sehingga menimbulkan trauma di kalangan warga Australia.
Rochayah yang pernah kuliah di IKIP Malang menjelaskan jumlah mahasiswa yang menaruh minat bahasa Indonesia di Universitas New South Wales mencapai 100 pada 1998. "Tetapi sekarang, untuk mendapatkan jumlah mahasiswa 25 sulit," jelas Rochayah.
Selain itu, kepentingan siswa untuk mendapatkan mata pelajaran dengan prospek lapangan kerja yang menjanjikan seperti bisnis telah mengarahkan orientasi mereka dalam memilih mata pelajaran. Hal ini pula yang membuat siswa di Australia bersikap kritis mempertanyakan apa yang bisa mereka dapatkan dengan mengambil bahasa sebagai mata pelajaran.
Menteri Luar Negeri Stephen Smith mengakui jumlah pelajar Australia yang belajar bahasa Indonesia mengalami penurunan. "Namun, penurunan itu tak hanya terjadi pada bahasa Indonesia tetapi juga pada pilihan bahasa Asia lainnya,"jelas Stephen Smith dalam suatu keterangan saat membuka Konferensi Australia - Indonesia di Sydney, Kamis (21/2).
Selama berlangsung konferensi itu, Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengakui tahun lalu pernah menemui kalangan akademisi maupun guru dari Australia yang berharap dapat mengikuti program pertukaran pengajar di Indonesia. Namun, Hassan Wirajuda menjelaskan mereka mengalami kesulitan untuk mengikuti program itu karena masih diberlakukan travel advisory oleh pemerintah Australia.
Karena permasalahan itu, Hassan Wirajuda memohon agar travel adversory segera dicabut. Sementara Stephen Smith menerangkan travel advisory akan terus ditinjau oleh pemerintah Australia.
Stephen Smith berdalih bahwa travel advisory tak hanya dilakukan oleh Australia untuk melindungi warganya yang akan bepergian ke luar negeri tetapi juga oleh AS dan Kanada. Stephen Smith menambahkan dalihnya itu dengan menyebutkan jumlah wisatawan Australia yang bepergian ke Bali mengalami kenaikan tajam tahun lalu.
Walaupun fakta menyebutkan Indonesia berhasil menyedot jumlah wisatawan Australia ke Bali, namun Indonesia belum bisa dikatakan sukses untuk menarik pelajar atau kalangan akademisi Australia untuk lebih banyak lagi studi di Indonesia atau setidaknya termotivasi untuk belajar bahasa Indonesia. Persepsi negatif terhadap Indonesia tidak sepenuhnya bisa digunakan sebagai dalih dari kegagalan itu.
Persepsi negatif memang masih membekas walaupun konferensi Australia-Indonesia yang berfokus pada hubungan antarwarga negara dengan berbagai latar belakang telah ditutup akhir pekan lalu. Namun, persepsi negatif hanya akan menjadi luka yang menciderai hubungan bilateral apabila bangsa Indonesia tidak belajar dari apa yang seharusnya dibenahi untuk memperbaiki diri.
0 komentar:
Posting Komentar