Selama ini, masyarakat mengenal hanya ada tiga bahasa di Sumatera Barat, yaitu Minangkabau, Mentawai, dan Mandailing. Namun seorang peneliti menemukan, ada bahasa keempat yang hidup di Sumatera Barat yang baru saja dilanda gempa dan tsunami itu.
Bahasa itu, oleh penemunya Elsa Putri Ermisah Syafril, disebut sebagai Bahasa Tansi. “Ke depan, melalui penelitian linguistik yang melihat latar belakang sejarah, sosial, dan budaya masyarakat pengguna, tidak tertutup kemungkinan khazanah bahasa yang ada ini akan kembali bertambah,” ujar Elsa saat mempertahankan disertasinya yang berjudul "Bahasa Tansi di Kota Sawahlunto" dalam ujian terbuka Program Doktor Ilmu-ilmu Humaniora (Linguistik) di Ruang Multimedia Gedung R.M. Margono Djojohadikusumo, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada.
Elsa mengatakan Bahasa Tansi merupakan satu bahasa kreol dengan latar belakang perburuhan dan berada di pedalaman. Temuan ini selain menjadikan Bahasa Tansi sebagai bahasa kreol pertama di Indonesia yang lahir dari latar belakang perburuhan dan berada di pedalaman, juga membuka katup kemungkinan bahwa bahasa kreol di Indonesia bagian barat tidak identik dengan latar belakang perniagaan dan berada di wilayah pesisiran.
“Bahasa Tansi merupakan bahasa kreol pertama di Indonesia yang lahir dengan latar belakang perburuhan dan berada di pedalaman,” katanya.
Bahasa Tansi, secara kualitatif (sejarah, sosial, dan budaya) adalah bahasa yang berasal dari kelompok sosial terbawah di dalam struktur sosial kolonial di Sawahlunto. Sementara secara teoretis, bahasa Tansi pada awalnya merupakan bahasa pigin karena bahasa tersebut polygenetic, berasal dari campuran (mixture) beberapa bahasa buruh tambang dari berbagai etnis, seperti Minangkabau, Jawa, Cina, Madura, Sunda, Bugis, Bali, dan Batak, dengan bahasa dasar bahasa Melayu, dan terdapat bahasa Belanda.
“Ini bisa dibuktikan dengan sejumlah contoh, seperti adanya penggunaan kata sapaan untuk orang yang lebih tua dari berbagai bahasa dalam Bahasa Tansi secara umum,” kata Elsa yang berdarah Minang itu dalam ujian disertasi pada Selasa 2 November 2010 itu.
Sejalan dengan perkembangan waktu, Bahasa Tansi di kota Sawahlunto terus digunakan selama lebih dari 100 tahun hingga keturunan berikutnya karena perkawinan campur antarketurunan buruh tambang sebagai bahasa ibu dalam masyarakat pengguna bahasa tertentu. Namun, penggunaan bahasa Tansi pada saat sekarang telah mengalami perubahan ke arah yang lebih standar (dekreolisasi) dengan sangat cepat, yang dibuktikan dengan perubahan struktur bahasa.
“Untuk membuktikan hal ini, saya menggabungkan metode penelitian gabungan, yaitu metode kualitatif dan kuantitatif, serta yang berkaitan dengan bidang kajian sosiolinguistik antropologis,” kata perempuan kelahiran Sawahlunto, 27 November 1977 ini.
Penelitian tersebut, menurut Elsa, secara khusus telah memunculkan kesadaran masyarakat Sawahlunto terhadap identitas mereka. Mereka terlibat aktif dan berpartisipasi untuk menemukan identitas tersebut, dan menemukan kenyataan bahwa mereka sebagai bagian masyarakat plural dan multietnis.
Nantinya, dengan disertasinya ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Pemerintah Kota Sawahlunto. Pertama, bagaimana menyelamatkan eksistensi bahasa kreol (buruh) Tansi dari kepunahan yang disebabkan oleh proses dekreolisasi (perkembangan bahasa kreol ke arah bahasa yang lebih menempatkan Bahasa Tansi sebagai bahasa kedua bagi masyarakat penuturnya). Kedua, mengupayakan pemertahanan bahasa Tansi melalui kehadirannya dalam ragam tulis, seperti penulisan tonil dan naskah sejarah.
“Di samping itu, untuk melakukan penelitian lebih mendalam, khususnya tentang struktur bahasa kreol Tansi dengan melibatkan para linguis dan lembaga kebahasaan,” kata Elsa yang menyelesaikan studi S-1 di Universitas Andalas dan S-2 di Universitas Negeri Jakarta itu.
Di hadapan para penguji, yakni Dr. Ida Rochani Adi, S.U., Prof. Dr. I Dewa Putu Wijana, S.U., M.A., Prof. Dr. Soepomo Poedjosoedarmo, Dr. Inyo Yos Fernandez, Dr. F.X. Nadar, M.A., serta Dr. Amir Ma’ruf, M.Hum. ini Elsa berhasil lulus dengan predikat sangat memuaskan.
Elsa mengatakan Bahasa Tansi merupakan satu bahasa kreol dengan latar belakang perburuhan dan berada di pedalaman. Temuan ini selain menjadikan Bahasa Tansi sebagai bahasa kreol pertama di Indonesia yang lahir dari latar belakang perburuhan dan berada di pedalaman, juga membuka katup kemungkinan bahwa bahasa kreol di Indonesia bagian barat tidak identik dengan latar belakang perniagaan dan berada di wilayah pesisiran.
“Bahasa Tansi merupakan bahasa kreol pertama di Indonesia yang lahir dengan latar belakang perburuhan dan berada di pedalaman,” katanya.
Bahasa Tansi, secara kualitatif (sejarah, sosial, dan budaya) adalah bahasa yang berasal dari kelompok sosial terbawah di dalam struktur sosial kolonial di Sawahlunto. Sementara secara teoretis, bahasa Tansi pada awalnya merupakan bahasa pigin karena bahasa tersebut polygenetic, berasal dari campuran (mixture) beberapa bahasa buruh tambang dari berbagai etnis, seperti Minangkabau, Jawa, Cina, Madura, Sunda, Bugis, Bali, dan Batak, dengan bahasa dasar bahasa Melayu, dan terdapat bahasa Belanda.
“Ini bisa dibuktikan dengan sejumlah contoh, seperti adanya penggunaan kata sapaan untuk orang yang lebih tua dari berbagai bahasa dalam Bahasa Tansi secara umum,” kata Elsa yang berdarah Minang itu dalam ujian disertasi pada Selasa 2 November 2010 itu.
Sejalan dengan perkembangan waktu, Bahasa Tansi di kota Sawahlunto terus digunakan selama lebih dari 100 tahun hingga keturunan berikutnya karena perkawinan campur antarketurunan buruh tambang sebagai bahasa ibu dalam masyarakat pengguna bahasa tertentu. Namun, penggunaan bahasa Tansi pada saat sekarang telah mengalami perubahan ke arah yang lebih standar (dekreolisasi) dengan sangat cepat, yang dibuktikan dengan perubahan struktur bahasa.
“Untuk membuktikan hal ini, saya menggabungkan metode penelitian gabungan, yaitu metode kualitatif dan kuantitatif, serta yang berkaitan dengan bidang kajian sosiolinguistik antropologis,” kata perempuan kelahiran Sawahlunto, 27 November 1977 ini.
Penelitian tersebut, menurut Elsa, secara khusus telah memunculkan kesadaran masyarakat Sawahlunto terhadap identitas mereka. Mereka terlibat aktif dan berpartisipasi untuk menemukan identitas tersebut, dan menemukan kenyataan bahwa mereka sebagai bagian masyarakat plural dan multietnis.
Nantinya, dengan disertasinya ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Pemerintah Kota Sawahlunto. Pertama, bagaimana menyelamatkan eksistensi bahasa kreol (buruh) Tansi dari kepunahan yang disebabkan oleh proses dekreolisasi (perkembangan bahasa kreol ke arah bahasa yang lebih menempatkan Bahasa Tansi sebagai bahasa kedua bagi masyarakat penuturnya). Kedua, mengupayakan pemertahanan bahasa Tansi melalui kehadirannya dalam ragam tulis, seperti penulisan tonil dan naskah sejarah.
“Di samping itu, untuk melakukan penelitian lebih mendalam, khususnya tentang struktur bahasa kreol Tansi dengan melibatkan para linguis dan lembaga kebahasaan,” kata Elsa yang menyelesaikan studi S-1 di Universitas Andalas dan S-2 di Universitas Negeri Jakarta itu.
Di hadapan para penguji, yakni Dr. Ida Rochani Adi, S.U., Prof. Dr. I Dewa Putu Wijana, S.U., M.A., Prof. Dr. Soepomo Poedjosoedarmo, Dr. Inyo Yos Fernandez, Dr. F.X. Nadar, M.A., serta Dr. Amir Ma’ruf, M.Hum. ini Elsa berhasil lulus dengan predikat sangat memuaskan.
0 komentar:
Posting Komentar